Dwi Prastyo
Dwi Prastyo
Online
Halo 👋
Ada yang bisa dibantu?

Problematika Dokter Indonesia

Dalam kurun waktu seabad lebih sejak berdirinya Budi Utomo citra dokter cenderung meredup. Hal ini bisa terjadi disebabkan beberapa hal, antara lain adalah,

Pertama, Belenggu Struktural.
Pemerintah hingga saat ini belum mampu memberikan Regulasi yang benar-benar tepat terhadap peran dan penempatan dokter yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 

Dimana dari hampir 170 ribu dokter, baik itu dokter umum, dokter spesialis , dokter gigi maupun dokter gigi spesialis lebih dari separuh nya justru ada dikota kota besar dan hanya sedikit yang berada di daerah, termasuk juga masalah penempatan dokter intership perlu dikaji ulang.

Kedua, Belenggu Kultural.
Dimasyarakat profesi dokter dianggap posisi yang sangat terhormat dan strategis. Satu sisi ini sangat menguntungkan bagi para dokter yang memang ada panggilan nurani dalam menjalankan profesinya. Namun sangat beban bagi dokter yang kemudian berubah niat untuk meng-komersilkan profesinya.

(ilustrasi) Foto Doc. Joni, Kegiatan Pelantikan Pengurus IDI cabang Kab. Sumbawa
Foto tgl. 27 Agustrus 2017

Ketiga, Belenggu Pendidikan. 
Ada persoalan mendasar dalam sistem pendidikan kedokteran di Indonesia. Dimana kurikulum baru sebatas transfer of knowledge, belum sampai pada transfer of values. Pada akhirnya dokter itu akan terjun ke masyarakat bila telah selesai pendidikannya, namun bekal bagaimana berinteraksi dengan masyarakat secara luas sangat sedikit bekalnya. Kemampuan how to relation and manage community tidak ada sehingga banyak sekali kesalahan-kesalahan yang nggak perlu dilakukan oleh seorang dokter namun terjadi.

Keempat, Belenggu Ikatan Profesi. 
Organisasi profesi sebesar IDI sudah sewajarnya dikelola secara profesional karena memiliki tupoksi yang sangat strategis untuk meningkatkan profesionalitas seorang dokter pasca selesai pendidikan di universitas. Namun IDI terjebak pada masalah rutinitas dan seremonial belaka, belum lagi ada tumpang tindih dengan organisasi lain dari profesi dokter namun bukan meningkatkan profesionalitas dokter, akan tetapi menambah birokrasi profesi dokter akibatnya high medical-economic. Sementara para anggota hanya merasa terbebani dengan iuran anggota saja namun tidak mendapatkan sesuatu kecuali surat izin praktek.

Kelima, Belenggu Budaya Hedonis. 
Budaya hedonis dengan dahsyatnya menyerang semua orang termasuk profesi dokter. Dokter lebih memilih kepada tampilan luar dibandingkan dengan pesona pribadi yang kemudian memancar dalam pola pelayanannya. Mereka berlomba-lomba meningkatkan performa luarnya demi mengejar gengsi dan meningkatkan status di hadapan para koleganya. Akibatnya pelanggaran dalam etika profesi tak bisa dihindarkan. Hubungan pasien dan dokter hanya hubungan formalitas antara penerima dan pemberi jasa. Maka wajarlah bila terjadi eksplorasi profesi demi mendapatkan imbalan yang besar.           

Hari Bakti Dokter Indonesia
Fakta sejarah telah membuktikan bahwa dokter Indonesia telah menorehkan tinta emasnya dalam menentukan arah perjuangan dan pembangunan bangsa Indonesia. Maka pada peringatan seabad Hari Kebangkitan Kebangkitan Nasional yaitu pada tanggal 20 Mei 2008 ditetapkan sebagai Hari Bakti Dokter Indonesia.

Akan tetapi melalui momentum Hari kebangkitan Nasional yang merupakan juga Hari Bakti Dokter Indonesia, maka dokter yang merupakan insan Aesculapius oleh pemerintah diberi amanah untuk mewujudkan Nawa Cita ke 5 yaitu memperbaiki kualitas rakyat Indonesia.  Sebagai mana kita ketahui bahwa kualitas pembangunan suatu bangsa bisa dinilai melalui indikator Indeks Pembangunan Manusia yaitu Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi/infrastruktur. Saat ini Indonesia menduduki peringkat ke 6 dari 10 negara asean  dalam hal Indeks Pembangunan Manusia.

           
Dalam komponen pembangunan kesehatan tidak akan terlepas dari peran sentral para dokter. Para dokter adalah intelektual yang dalam menjalankan profesinya langsung berhadapan atau berada di tengah masyarakat dibekali nilai profesi yang menjadi kompas dalam segala pijakannya. Nilai profesi itu antara lain adalah Kemanusiaan (humanism), Etika (ethics) dan Kompetensi (competence).Itulah yang dilakukan dokter Wahidin dan para sejawatnya lebih dari seabad yang lalu jauh sebelum adanya rekomendasi WHO.
           
Momentum Hari Kebangkitan Nasional yang juga merupakan Hari Bakti Dokter Indonesia menjadi penting bagi dokter Indonesia untuk keluar dari belenggu yang mengikat untuk mengambil peran dalam pembangunan sumber daya manusia.

Sehingga kedepannya di era bonus demografi  yang sedang kita jalani Indonesia tidak hanya unggul dalam hal kuantitas masyarakatnya tapi unggul dalam hal Kualitas sumber daya manusianya. Karena pada dasarnya dokter selalu berpegang teguh pada filosofi ular dan tongkat.

Dimana ular adalah hewan yang memiliki kemampuan untuk berganti kulit setelah periode waktu tertentu, dan hal ini sering dikaitkan dengan kehidupan/kesembuhan yang baru”. Bisa ular dapat berfungsi sebagai racun namun dapat juga berfungsi untuk mengobati, layaknya obat-obatan (farmako) pada saat ini juga dapat berfungsi untuk menyembuhkan penyakit namun dapat juga menjadi racun. Ular juga melambangkan sifat seorang dokter yang bekerja dengan kehidupan dan kematian.

Dan mengapa tongkat juga dipilih sebagai simbol? Ada beberapa pendapat yang dikemukakan. Tongkat merupakan simbol kemandirian seorang Asclepius dalam bekerja dan mengobati. Tongkat juga bisa berarti penopang” pada saat seseorang sedang menderita penyakit. Namun demikian, secara bersamaan ular dan tongkat merupakan lambang profesionalisme dan kemandirian seorang dokter.
          
Dengan melihat kenyataan yang ada dalam sejarah Republik Indonesia kiprah para dokter Indonesia dalam memperjuangkan dan membangun Indonesia, maka sudah saatnya dokter Indonesia bangkit menjadi agent of change (agen perubahan), agent of development (agen perubahan) dan agent of treatment(agen perawatan).

dr. Zamir Alvi
Koordinator Nasional LPP-KKB DPP KNPI (Lembaga Pemuda Penggerak Kependudukan dan Keluarga Berencana DPP KNPI), Ketua IDI Kabupaten PALI, Sumatera

Oleh dr. H Minanurrahman / Joni irawan, S.Pd

Berbagi

Posting Komentar