Dwi Prastyo
Dwi Prastyo
Online
Halo 👋
Ada yang bisa dibantu?

Sebuah Refleksi Dalam Memaknai Pluralisme Untuk 72 Tahun NKRI

” Tafsir Pluralisme Dalam Bingkai Pancasila “
Penulis;
Alwan Hidayat, S.Pd.I
Ketua DPD KNPI Sumbawa
Sekretaris Gerakan Pemuda Ansor Sumbawa

Kemajmukan adalah fenomena yang tidak bisa di elak. Karena kemajemukan adalah keragaman itu sendiri yang mewarnai berbagai bidang dan ruang kehidupan. termasuk didalamnya adalah keberagaman dalam keyakinan beragama.

Pluralitas sebagai eksistensi dari keragaman bukan hanya terjadi dalam ruang lingkup kelompok social  besar, seperti dimasyarakat, tapi juga terjadi dalam ruang lingkup yang lebih kecil, seperti dalam rumah tangga. Bahkan boleh jadi, individu-individu dalam sebuah rumah tangga Faham serta menganut agama yang berbeda pula.



Sekali lagi, Pluralitas sebagai eksistensi dari keragaman sangat bisa terjadi pada level penafsiran atas ajaran agama. Jika Pluralitas terjadi pada level tafsir maka akan melahirkan pluralitas/keragaman pada level aktualisasi dan pelembagaannya.

Sebagai analogi tentang Tafsir Pluralitas, penulis coba ambil dalam kontek sejarah perkembangan Islam misalnya, notabene munculnya Mazhab-mazhab dilatarbelakangi oleh perbedaan penafsiran, seperti  dalam  bidang  Fiqih ada  Mazhab   Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali.

Dalam bidang Ilmu kalam ada Mazhab Mu’tazilah, MurJiah, Khawarij, Jabbariyah dan Qodariyah. Dan dunia Islam juga ada Varian, seperti Sunni dan Syi’ah. Oleh karena itu, menghadapi kenyataan dunia yang semakin plural, maka yang dibutuhkan bagaimana mendekati pluralitas sebagai suatu khasana, tapi tidak justru menjauh dari pluralitas sebagai khasana bangsa sehingga pada gilirannya kita bisa menyikapi sekaligus menghadapi pluralitas itu sebagai suatu kenyataan global.

Memang pada awalnya, Pluralisme sebagai faham untuk memaknai hakikat keberagaman, dipopulerkan pertama kali oleh Jhon Hick sekitar tahun 1854, pasca protes kerasnya terhadap keputusan greja sekitar abad 12 pada masa Yohanes Damasky.

Di Indonesia sendiri istilah Pluralisme mulai populer pada Era Pemerintahan Presiden RI ke 5 (,KH.Abdurrahman Wahid). Presiden Republik Indonesia ke 6, Dr.Susilo Bambang Yudhoyono memberikan Gelar kepada Gus Dur Sebagai Bapak Pluralisme pada 2009 lalu sebagai penghargaan atas kifrahnya menjaga semangat Pluralisme sebagai eksistensi dari keragaman Indonesia yang multi cultural.

Pluralitas dalam  hubungan antar ummat beragama Kuhusnya di Indonesia, itu sudah ada sejak Zaman Kemerdekaan, yakni  dengan adanya pengakuan secara konstitusional terhadap sejumlah Agama resmi yang diakui oleh Negara itu sendiri. Dimana hubungan antar ummat beragama di Indonesia menjadi perhatian khusus dinegara kita sebagaimana tersurat pada pasal 29 ayat 1,2 dalam UUD 45. Adanya suratan konstitusional tersebut menjadi bukti kuat bahwa Negara ikut melindungi dan mengayomi antar pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama lainnya.

Dalam Al-qur’an sebagai tuntunan hidup ummat Islam menjamin kebebasan Beragama dengan merujuk pada ayat yang berbunyi  ” Tidak ada paksaan dalam beragama” dan / Untukmu agamamu dan untukku agamaku.

Pluralisme, sesungguhnya adalah tafsir sekaligus perekat dalam memaknai keberagaman, kemajemukan Indonesia yang begitu heterogen dalam berbagai segmentasinya, mulai dari agama, suku, adat istiadat, hingga warna kulit semuanya terformulasikan dalam bingkai Pancasila sebagai dasar Negara dengan semboyan  “ Bhineka Tuggal Ika” (Berbeda – beda tapi tetap satu jua).

Lantas bagaimana dengan segmentasi agama yang kerap menjadi penyulut perpecahan?. hingga kerap terjadi perang Claim sebagai ajaran, keyakinan yang paling benar dan suci?. Agamapun sendiri, tidak dipaksa untuk meyakini sudut pandang plural. Tapi Agama untuk kita yakini sebagai jalan Ilahia, namun disisi lain pemeluk setiap Agama harus toleran terhadap agama lain dalam bingkai Muamalah (hubungan kemanusiaan), bukan aqida.

Tafsir Pluralisme dalam bingkai Pancasila harus bisa di letakkan dalam persfektif kemanusiaan hingga apik yang pada gilirannya akan melahirkan toleransi, namun jika diletakkan pada dogma suci yang an-sich normatif maka wajah agama tampak garang (radikal) karena akan melahirkan kontradiksi kemanusiaan dalam wadah NKRI itu sendiri, sebagai akibat dari truth calim suci dan non suci lintas agama/aqidah.


Pluralisme haruslah diletakkan dalam dudukan kemanusian sementara disisi lain agama haruslah menjadi pintu keimanan bagi setiap pemeluknya dalam sekup keyakinan tertentu. (wallahualambissawab).

Berbagi

Posting Komentar