Dwi Prastyo
Dwi Prastyo
Online
Halo 👋
Ada yang bisa dibantu?

AKU RINDU SHOLAT

Cinta itu buta... Mungkin inilah yang telah aku alami. Cinta membutakan akal dan mata hatiku. Cinta mengalahkan logika dan melumpuhkan rasio. Cinta melabrak adat, budaya, moralitas dan bahkan ajaran agama. Telinga pun ikut tuli, tak bisa mendengar nasihat.

ilustrasi sholat berjamaah
Aku bukan tipe perempuan yang mudah jatuh cinta, meskipun banyak teman laki yang naksir bahkan menyatakan cinta. Aku sangat yakin akan bertemu sang pujaan hati di saat yang tepat, karena semua orang pasti punya jodoh. Keluargaku taat beragama dan menjunjung tinggi kehormatan, itulah yang membuat aku tidak punya pacar.

Waktu terus berjalan, kuliah kelar dan aku mulai bekerja. Semasa kuliah aku tetap sendiri meskipun banyak teman laki, entah mengapa belum ada yang cocok. Menginjak usia seperempat abad, keinginan untuk menemukan pasangan makin kuat. Teman temanku sudah banyak yang menikah bahkan punya momongan. Rasa kesepian mulai menyerang, sahabat sahabatku sudah pada sibuk dengan urusan rumah tangga. Ada juga teman yang senasib denganku, jomblo yang tenggelam dalam pekerjaan.

Ada teman kantor yang bersimpati padaku. Mulanya hanya mengajak ngobrol, menemani makan siang dan curhat. Dia cowok ganteng, humoris dan romantis. Ibarat pepatah Jawa "witing trisno jalaran saka kulina" (awal cinta karena kebiasaan dekat), akhirnya aku terhanyut makin intim.

Hari demi hari hatiku makin berbunga bunga. Aku makin rajin berhias dan jilbabku makin berwarna warni. _"ada yang sedang jatuh cinta ni ye..."_ begitulah teman kantor pada komentar. Aku dan dia makin sering ngobrol dan makan siang berduaan. Bahkan kadang sengaja mencari tempat kuliner yang romantis. Aku tidak mendengarkan nasihat sahabatku, _"hati-hati ya kalian itu beda keyakinan"._ Aku tahu itu, tapi berprasangka bahwa dia yang aku cintai akan mengikuti keyakinanku.

Ketika dia mengutarakan cintanya padaku, aku mengabulkan dengan syarat _"kamu harus seiman denganku"._ Sungguh tak kuduga ketika dia menjawab, _"aku sedang belajar Islam, karena itu aku berani mengatakan cinta padamu."_ Hari hari berikutnya kami sudah nyaman sebagai sepasang kekasih.

Setelah hatiku mantap dengan pilihanku, kuberanikan diri menyampaikan kabar ini ke dua orangtuaku. Ayah ibuku menyambut gembira dan ingin bertemu dengan calon pilihanku. Setelah pertemuan itu, ayah ibuku mendesak untuk segera melangsungkan pernikahan. Ayah ibuku belum tahu kalau calonku bukan muslim.

Singkat cerita dia telah berganti KTP dengan agama Islam. Maka proses pernikahan Islam berjalan lancar. Kami mulai membangun kehidupan rumah tangga dengan tinggal di rumah mertua. Mulanya aku dan suaminya lancar menjalani ibadah sholat. Lama kelamaan suamiku mulai jarang sholat, dengan berkata 'tadi sudah sholat duluan'. Padahal dia suka bangun kesiangan karena sering pulang malam.

Aku mulai sering dirayu untuk ikut ke gereja. Dia terang terangan berkata, "kamu harus ikut aku, kalau tidak kita cerai".

Hatiku hancur, sedangkan saat itu aku sedang hamil tua. Namanya perempuan, aku tak kuat menghadapi kenyataan getir ini. Karena syok, akhirnya aku melahirkan dengan Sectio Caesaria. Setelah melahirkan aku tidak bekerja lagi dan hanya menjadi ibu rumah tangga. Romantisme itu telah hilang, aku hidup dalam kekangan dan tekanan batin. Suamiku mencoba menghibur dan merayuku dengan berbagai cara, yang akhirnya aku pun luluh pasrah mengikuti agama suamiku. Tetapi hatiku selalu rindu untuk sholat. Astaghfirullah hal adhim.

Oleh dr. H Minanurrahman / Joni

Berbagi

Posting Komentar