Dwi Prastyo
Dwi Prastyo
Online
Halo 👋
Ada yang bisa dibantu?

"PSIKOLOGI POLIGAMI"

Poligami sesungguhnya merupakan fitrah hidup, artinya dibenci dan dimusuhi seperti apapun praktek poligami yang ada.

Pada masyarakat Barat yang melarang poligami secara hukum, maka prakteknya banyak suami punya wanita selingkuhan. Jika ada kelompok wanita yang memiliki stereotip kepada laki-laki dengan mengatakan dasar laki-laki nggak boleh lihat jidat licin, maka perlu diketahui bahwa semua isteri muda adalah perempuan juga. Artinya *pada sebagian perempuan, poligami merupakan jalan keluar*, apa boleh buat menjadi isteri kedua daripada tidak. Dalam hidup tidak semua yang kita terima itu yang kita inginkan. Inginnya menjadi isteri satu-satunya, eh malah jadi isteri ketiga.

Ilustrasi, Sumber Gambar : detikNews
Agama Islam menempatkan *poligami sebagai pintu darurat,* bukan pintu yang selalu terbuka, maknanya ada memang lelaki tertentu yang memiliki potensi lebih, yang tidak cukup dengan satu isteri, atau ada kasus, yang mengantar poligami menjadi solusi, misalnya isterinya mandul.

*Islam menyalurkan fitrah manusia dengan aturan dan etika.* Etika bagi laki-laki yang apa boleh buat menjalani poligami, ia harus berlaku adil terhadap isteri-isterinya meski adil itu sangat berat. Ada orang yang berpoligami secara jujur dan terbuka, ada yang sembunyi-sembunyi, ada yang berpoligami sekedar menuruti syahwat seksual tanpa tanggungjawab.
Berikut ini kasus rumah tangga yang menjurus pada poligami, tetapi akhirnya si lekaki mengurungkan niatnya karena sadar akan tanggungjawab. Berikut ini kisahnya;
_Seorang pegawai perusahaan swasta bermaksud poligami.

Ia seorang sarjana ekonomi yang baru akrab dengan agama setelah bergaul dengan rekan sekerja yang kebanyakan taat beragama dan agak "fundamentalis". Lingkungan pergaulannya adalah masyarakat professional, tetapi mereka mempunyai corak keberagamaan yang cukup kental, dengan menonjolkan simbol-simbol tertentu, seperti shalat awal waktu, memelihara jenggot dan juga poligami.

Di lingkungan grup pengajiannya, *poligami dipandang sebagai sunah Nabi yang dianjurkan*, sehingga dia dengan semangat mengikuti sunnah Nabi juga bermaksud nikah lagi._Isterinya berasal dari lingkungan masyarakat pesantren, yang juga taat beragama, tetapi simbol-simbol keberagamaannya berbeda dengan lingkungan pengajian suaminya. Isterinya lebih respek kepada kyai di pesantrennya dibanding guru ngaji suaminya yang Insinyur.

Dalam hal rencana nikah lagi, terjadi peselisihan hebat antara suami isteri itu, dan menariknya masing-masing berdalil dengan agama. Suami menganggap rencana nikah lagi itu sebagai perwujudan dari mengikuti sunnah Rasul, sementara isteri memandangnya sebagai *akal bulus*, yakni menjadikan agama sebagai kedok untuk mencari kepuasan syahwat. Karena keduanya memang orang yang patuh kepada agama, maka pertentangan pendapat suami isteri itu disepakati untuk mencari pembenarannya. Suami memanggil guru ngajinya untuk menasehati isterinya agar patuh kepada suami, sementara isterinya mengajak suaminya silaturrahmi kepada gurunya di pesantren, sekaligus untuk meminta nasehatnya tentang rencana nikah lagi itu. Sang isteri pergi dengan semangat karena yakin pasti pak kyai, gurunya di pesantren itu pasti ada di pihaknya, dan sang suami juga semangat, karena yakin bahwa pak kyai itu lebih mengerti tentang keharusan mengikuti sunnah Rasul, apa lagi pak kyai juga berpoligami.

Anatomi masalah Sebenarnya, sang isteri tidak bersedia dimadu, lebih didorong oleh perasaanya sebagai wanita. Ia tidak begitu antipati terhadap poligami, karena ia sendiri adalah puteri dari isteri muda seorang kyai, dan ia merasa OK-OK saja berhubungan dengan saudara-saudara tiri dan bahkan ibu tirinya. Akan tetapi dalam hal rencana nikah lagi suaminya, disamping secara naluriah ia tidak bisa menerima, ia juga tidak percaya terhadap otoritas guru ngaji suaminya yang selalu menekankan kewajiban seorang isteri harus patuh kepada suami. Di mata sang isteri guru suaminya itu bukan orang 'alim, sebagaimana juga suaminya, meskipun mereka itu sarjana dan professional, tetapi bukan dalam bidang agama.

Sementara itu, sang suami yang baru kenal agama setelah berada di lingkungan kerja baru itu merasa bahwa poligami itu mengandung nilai keutamaan agama. Ia bermaksud nikah lagi dengan semangat ibadah, dan sudah barang tentu ada juga motif kepada pengalaman baru hubungan seksual, tetapi ia sama sekali tidak mau terima jika dituduh isterinya bahwa rencana nikah lagi itu hanya akal bulus saja untuk mencari kepuasan seksual. Ia bahkan tidak pacaran dengan calon isteri keduanya itu, karena calon isterinya itu adalah orang yang dikenalkan oleh guru ngajinya. Oleh karena itu ia tanpa ragu sedikitpun untuk memenuhi permintaan isterinya silaturrahmi kepada pak kyai di pesantren.

Ketika tiba menghadap pak kyai, setelah basa-basi seperlunya, mereka mengemukakan masalahnya. Suami mengetengahkan maksudnya dan mohon nasehatnya, dan isteri mengemukakan keberatan dan mohon bantuan agar menasehati suaminya.

Pak kyai yang 'alim ini nampaknya sangat bijak dalam menasehati mereka berdua. Pak kyai bilang, poligami itukan ajaran Islam, ada dalam al Qur'an lagi. Ayahmu kan juga isterinya dua, kata pak kyai kepada tamu wanitanya, nah, *seorang muslim jika memang mampu, agama sudah barang tentu membolehkan, asal jujur.* Maka nasehatku kepada anda, coba kau tanyakan kepada hati nuranimu, istafti qalbak. Nanti jika nuranimu, bukan syahwatmu sudah menjawab, ya itu artinya nasehat agama. Mendengar nasehat pak kyai itu, sang suami berseri-seri wajahnya, sementara isterinya diam agak masam muka. Tetapi menjelang tamunya pamitan, pak kyai berkata: "Memang ada tiga orang yang bisa berpoligami". Mendengar kata-kata pak kyai itu, baik sang suami maupun sang isteri nampak sangat antusias ingin mendengar lanjutannya.

_*"Pertama, penguasa, penguasa politik atau penguasa harta, atau penguasa apa saja, karena kekuasaannya, maka ia bisa mengelola dan mengatur isteri-isterinya. Kedua, Orang berilmu, termasuk Ulama, karena ilmu yang dalam maka ia mampu mengatasi problem yang timbul dari kehidupan berpoligami. Yang ketiga, Orang mbelosondo atau orang ngawur, dan dengan ngawurnya ia bisa saja mempunyai isteri dua, tiga atau empat sekalian."*_

"Sekarang tanyakan kepada hati nuranimu, sampeyan termasuk yang mana." Nasehat pak kyai yang cespleng itu nampaknya benar-benar mengena. Sepanjang pulang ke rumah dan bahkan sampai berhari-hari di rumah, laki-laki itu merenung bekerja keras bertanya kepada hati nuraninya, apakah ia termasuk orang pertama, kedua atau ketiga. Pada akhirnya ia tidak berani meneruskan rencananya, karena secara sadar nuraninya mengatakan bahwa ia tidak termasuk nomor satu dan bukan pula nomor dua. Untuk menjadi nomor tiga, ahhh...... no way katanya.
Wassalam, ...

Oleh dr. H Minanurrahman / Joni irawan

Berbagi

Posting Komentar