Dwi Prastyo
Dwi Prastyo
Online
Halo 👋
Ada yang bisa dibantu?

TIDAK ADA YANG MEMAKSAKU MEMELUK AGAMA INI

"Demi Allah, tidak ada yang memaksaku memeluk agama ini"_
Banyak sahabatku bertanya dengan keheranan, _"Ada apa denganmu? Apakah kamu sadar dengan keputusanmu? Apakah kamu masih waras? Siapa yang membuat kamu berubah seperti ini?"_

Lebih lebih ibuku yang sangat aku cintai. Beliau sangat kaget dan syok dengan keputusanku.

Sumber gambar : Muslim.Or.Id
Mereka sesungguhnya hanya melihatku saat ini. Mereka sama sekali tidak tahu apa yang saya alami selama ini. Kalau saya saat ini mengikrarkan masuk Islam menjelang menikah, itu bukan karena calon suami menyuruh saya masuk Islam. Sungguh bukan karena calon suamiku. Aku baru kenal dia beberapa bulan yang lalu, sedangkan proses keislamanku sudah berjalan tiga tahun. Memang tidak ada yang tahu kalau aku sedang belajar Islam.

Sudah hampir 3 tahun saya mempelajari Islam dan mempraktekkan secara diam diam. Semua ini bermula ketika ayahku meninggal setelah hampir sepuluh tahun melawan kanker. Aku marah dan kecewa, _"dimana Engkau Tuhanku? Mengapa Kau biarkan ayahku meninggal! Padahal sudah ratusan juta untuk pengobatan, tapi tidak ada hasil."_
Bersyukur aku punya sahabat yang bisa menentramkan hatiku.

Dia menyuruhku untuk pasrah kepada Tuhan dan banyak berdoa untuk memohon tuntunan. Perasaan berduka itu menuntunku untuk rajin beribadah ke gereja yang sebelumnya jarang. Karena aku sering mengeluh, aku sering mendapatkan nasihat pendeta untuk bertobat ke Jerusalem.

Aku sungguh ingin menemukan kedamaian, akhirnya aku pun ikut perjalanan ziarah ke Holy Land Jerusalem. Kekaguman pada peninggalan sejarah peradaban religius mendorong aku untuk memperdalam agama. Aku tahu agamaku mengakui Tuhan Allah adalah Tuhan semua manusia demikian pula umat Islam mengakui Tuhan yang sama. Maka aku mulai tertarik untuk belajar Islam.

Ketertarikan untuk belajar Islam itu juga karena saya melihat teman temanku muslim itu lebih tenang, sabar, pantang menyerah, suka menolong, mudah memaafkan dan tidak memaksakan kehendak. Ketika sahabatku yang muslim mengalami musibah seperti yang kualami, mereka bersedih sebentar kemudian bangkit kembali. Tidak seperti aku yang marah, kecewa dan menyalahkan Tuhan.

Aku minta diajari sholat dan membaca Al-Qur'an. Ternyata membaca Al-Qur'an itu sulit karena harus mulai dari belajar huruf arab, tetapi lebih mudah belajar Al-Qur'an dengan menghafal. Setelah sebulan, aku mulai merasakan butuh sholat. Sholat itu tenang, damai dan menentramkan hati. Segala persoalan hidup terasa lebih ringan dan semangat hidup bangkit kembali. Aku mulai menemukan kebenaran Islam dari nikmatnya sholat meskipun aku belum paham arti bacaan sholat. Rasa kedekatan dengan Tuhan membuat air mataku meleleh, aku menikmati itu dalam sujud.

Waktu terus berjalan, aku tetap merahasiakan keislamanku. Aku tetap ke gereja menemani ibuku yang sangat aku cintai. Teman teman gerejaku makin bangga denganku karena aku rajin ke gereja. Tetapi hatiku telah menemukan kebenaran hakiki bahwa Tuhan itu satu, tiada sekutu dan tidak serupa dengan makhluk serta tidak beranak atau dilahirkan. Aku memaklumi perbedaan keyakinan ini, karena sesungguhnya banyak sekali kesamaan ajaran kemanusiaan sehingga tidak sulit aku belajar Islam.

Umurku terus bertambah melewati kepala tiga, ibuku sering bertanya _"kapan kamu menikah?"_ Aku menangis dalam hati sambil menjawab, _"suatu saat nanti pasti aku menikah. Yang penting ibu harus sehat."_ Sesungguhnya aku sudah tidak ingin menikah karena pacarku tidak tegas dan akhirnya aku putus. Bagiku sekarang yang terpenting adalah ibuku sehat. Aku pasrahkan hidup ini pada kehendak Allah SWT.

Entah kenapa di saat aku sudah damai dengan diriku sendiri, datanglah seorang lelaki mendekatiku untuk mengajak menikah. Bagai halilintar datang di siang hari yang terang benderang, siapa gerangan orang ini? Aku terdiam, tertegun dan tidak mampu berucap. Akhirnya aku pun menghargai niatnya dengan minta waktu untuk berfikir.

Aku yang sudah terbiasa sholat, merasakan inilah waktu yang tepat untuk memohon tuntunan agar tidak salah memilih pasangan hidup. Dalam setiap sholat dan doaku, hatiku terus berbisik "jalani hidup ini bersama dia". Akhirnya aku sampaikan ke ibuku kalau ada seorang yang melamarku. Ibuku senang tetapi juga sedih karena yang melamarku seorang muslim. Ibuku bertanya, "apakah dia mau mengikuti agama kita?" Aku lama tak menjawab. Ibuku terus mendesak, "apakah kalian saling mencintai? Bisakah kalian hidup seiman?"
Akhirnya aku menjawab, "Ibu, aku sangat mencintai ibu.

Aku tak akan menikah bila ibu tidak merestui. Ibu, maafkan anakmu yang telah menemukan kebenaran dan memilih memeluk Islam. Ibu, Islam itu baik, sangat baik. Maafkan aku ibu!"

Oleh dr. H Minanurrahman

Berbagi

Posting Komentar