LIPUTANNTB.CO.ID - Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) dan Lembaga Program Inovasi memaparkan hasil Kesenjangan Hasil Pembelajaran, Selasa 6 Desember 2022. Sebanyak 18.370 siswa dari 612 sekolah yang dipilih secara acak terlibat dalam studi tersebut.
Direktur Program Inovasi, Mark Heyward mengatakan, studi
tersebut berupaya memetakan kondisi pembelajaran di 19 kabupaten di Provinsi
Jawa Timur, Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur
(NTT), Jambi, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, dan Maluku Utara.
Dia menuturkan, ada tiga temuan dari studi tersebut.
Salah satunya, banyak siswa di Indonesia yang belum menguasai keterampilan
dasar literasi dan numerasi.
”Padahal, siswa yang belum menguasai kemampuan dasar di
jenjang tertentu akan semakin tertinggal di jenjang-jenjang berikutnya,”
katanya dalam acara Temu Inovasi #14, di Jakarta, Selasa 6 Desember 2022.
Salah satu contohnya, kata Mark, yang ditemukan di Desa
Pelita Kanaan, Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara.
Di sana, dilaporkan banyak anak yang sudah duduk di kelas
V dan VI, tetapi belum bisa atau belum lancer membaca.
Mark menambahkan, pihaknya juga menemukan standar
kurikulum nasional yang lebih tinggi dari laju kemampuan belajar siswa dan
standar global.
”Untuk itu, reformasi kurikulum diperlukan karena
kurikulum yang fokus terhadap kemampuan esensial, berpotensi mengurangi,
menekan, kehilangan hasil belajar (learning loss) selama pandemi,” katanya.
Temuan ketiga, kata dia, meskipun Covid-19 berdampak
untuk semua sis wa, tetapi siswa kelompok rentan cenderung paling terdampak.
Siswa dengan multikerentanan berpotensi punya hasil belajar lebih rendah.
Tidak memenuhi
Lebih lanjut Mark mengatakan, siswa di perdesaan dan di
daerah terpencil, lebih banyak yang memiliki performa literasi dan numerasi
tingkat 1. Hal itu tidak memenuhi tingkat keterampilan minimum dibandingkan siswa
di perkotaan.
Selain itu, dengan siswa laki-laki pe nyandang
disabilitas di per desaan, 91 persennya tidak memenuhi tingkat keterampilan
minimum. Di perkotaan, sebanyak 82 persennya tidak memenuhi keterampilan
minimum.
Menurut Mark, faktor lainnya adalah guru dan keluarga.
Dia menyebutkan, 56 persen guru di perdesaan dan daerah terpencil, merasa
kurang percaya diri untuk menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Sementara guru di perkotaan yang kurang percaya diri untuk melakukan PJJ, hanya
37 persen.
Dari sisi orang tua, orang tua siswa di perkotaan lebih
terlibat dalam studi anak-anak mereka dibandingkan orang tua di perdesaan dan
daerah terpencil.
Mark menuturkan, studi juga menyimpulkan bahwa kurikulum
yang berfokus pada kemampuan esensial (literasi dan numerasi) ber potensi
mengurangi learning loss.
”Selain itu, kurikulum yang ber fokus pada materi
esensial juga berpotensi mengurangi ketimpangan hasil belajar bagi kelompok
rentan,” ujarnya.
Berangkat dari temuan-temuan tersebut, ada sejumlah rekomendasi
yang dirumuskan. Di level sistem dan kebijakan, perlu ada transformasi
kurikulum, pengembangan kapasitas guru, serta perbaikan akses dan kualitas
sumber daya pembelajaran dan infrastruktur.
Di level sekolah, perlu ada penggunaan asesmen formatif,
adaptasi pembelajaran sesuai dengan kemampuan siswa, serta memaksimalkan
penggunaan sumber belajar seperti platform Merdeka Mengajar (PMM) dan platform
lokal yang tersedia.
Di level komunitas, perlu ada upaya mengaktifkan komunitas praktisi, seperti kelompok kerja guru (KKG), untuk pengembangan kapasitas guru, serta membangun dan memperkuat kolaborasi dengan masyarakat dan entitas pendidikan terkait.*** source : pikiran-rakyat.com
i k l a n |