Foto: Pedagang beras curah di Pasar Jaya Gondangdia, Jakarta Pusat, Kamis (15/2/2024). (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky)
LIPUTANNTB.NET - Harga beras terus melambung setidaknya
dalam 1-2 pekan terakhir, bahkan beberapa kali memecahkan rekor. Hal ini
terjadi bukan hanya pada beras premium, tetapi juga beras medium.
Berdasarkan data Panel Harga Badan Pangan, pada Minggu
(25/2/2025) harga beras premium turun Rp390 ke Rp15.870 per kg. Meskipun telah
meninggalkan titik tertingginya, harga tersebut masih tergolong tinggi.
Sementara itu, beras medium naik Rp170 ke Rp14.390 per kg.
Harga tersebut sudah jauh melampaui harga eceran tertinggi
(HET) yang ditetapkan pemerintah.
Sebagai informasi, berdasarkan Peraturan Badan Pangan
Nasional No 7/2023, HET beras berlaku sejak Maret 2023 adalah Rp. 10.900/kg
medium, sedangkan beras premium Rp 13.900/kg untuk Zona 1 yang meliputi Jawa,
Lampung, Sumsel, Bali, NTB, dan Sulawesi. Sementara, HET beras di Zona 2
meliputi Sumatra selain Lampung dan Sumsel, NTT, dan Kalimantan dipatok Rp
11.500/kg medium dan beras premium Rp 14.400/kg. Sementara di zona ke-3
meliputi Maluku dan Papua, HET beras medium sebesar Rp 11.800/kg, dan untuk
beras premium sebesar Rp 14.800/kg.
Deputi I Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Badan
Pangan Nasional (Bapanas) I Gusti Ketut Astawa menyebut faktor perubahan iklim
yang tidak menentu jadi penyebab tanaman padi petani gagal, hingga menyebabkan
harga beras di pasaran menjadi naik.
"Kemarin waktu kita (Bapanas) ke lapangan, ke daerah
Grobogan dan lain sebagainya, itu ada 3 ribu hektare (sawah) tergenang banjir.
Ternyata, pas hujan kencang dia kencang banget hujannya, akhirnya banjir,"
kata Ketut kepada CNBC Indonesia, dikutip Minggu (25/2/2024).
"Ini ada potensi gagal. Mudah-mudahan tidak gagal ya,
tapi ada potensi yang harus kita waspadai. Itu kan petani mengeluarkan ongkos
yang lebih juga. Sementara di tempat lain agak tinggi, di tempat lainnya agak
rendah hujannya. Nah ini efek gorila El Nino kita katakan. Dampaknya ini sudah
mulai dirasakan petani," ujarnya.
Meski begitu, Ketut menambahkan, pihaknya tetap mengacu
kepada Kerangka Sampel Area (KSA) BPS, yang menyatakan bulan pada
Januari-Februari 2024 ini, produksi padi masih akan minus dari kebutuhan.
"Artinya memang Januari-Februari itu memang kita agak
lumayan koreksinya," tutur dia.
"Namun, di bulan Maret menurut prediksi KSA BPS kita
produksinya sudah sekitar 3,5 juta ton beras. Jadi ini akan terjadi surplus.
Harapan kita habis Maret, April, Mei, Juni juga terjadi surplus. Kalau itu
terjadi, maka mulai lah akan terjadi penyesuaian atau koreksi harga yang ke
bawah," ujar Ketut.
Gejolak Harga Gabah
Di sisi lain, harga gabah juga terpantau naik. Harga Gabah
Kering Panen (GKP) sekarang ini sudah di Rp7.500 per kg, bahkan ada yang sampai
Rp8.000 per kg. Kemudian, Gabah Kering Giling (GKG) sudah ada yang
Rp8.200-Rp8.500 per kg.
"Jadi kalau GKP maupun GKG dengan harga segitu,
gampangnya dikali 2 saja, dikali 2 memang akan menghasilkan segitu harga
(berasnya), nggak jauh dari situ," kata Ketut kepada CNBC Indonesia.
Ketut menuturkan, setelah berkoordinasi dengan Himpunan
Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan pemangku kepentingan lainnya, harga GKP/GKG
menjadi tinggi itu disebabkan karena produksinya yang memang sedikit
terkoreksi, imbas dari El Nino yang panjang.
"Ada beberapa petani kita yang jadi gagal panen.
November atau Desember dia tanam tapi besoknya kering, akhirnya
dia ngulang tanam. Dan itu pun berdasarkan KSA BPS, memang ada
koreksi sedikit terkait dengan produksinya," tuturnya.
"Nah yang selanjutnya, penyebab GKP tinggi juga adalah
sewa lahan yang sudah naik. Dulu dapat Rp3 juta sekarang nggak dapat, sudah
Rp12 jutaan," lanjut Ketut.
Dan, kondisi itu diperparah harga pupuk yang naik, akibat
perang yang terjadi di Ukraina.
"Itulah yang menyebabkan GKP/GKG nya naik. Kalau
GKP/GKG naik, maka sudah pasti harga beras juga naik," pungkasnya. Sumber :
cnbcindonesia