LIPUTANNTB.NET -- Hari raya Idul Fitri merupakan momen seluruh umat Islam
bersuka cita menyambut hari kemenangan. Namun, Islam juga mengajarkan tentang
beberapa hal agar kita mengisi saat-saat lebaran tersebut dengan gembira tapi
juga bernilai ibadah.
Dikutip dari buku How Did the Prophet & His
Companions Celebrate Eid? Rasulullah saw dan umat Islam pertama kali
menggelar perayaan hari raya Idul Fitri pada tahun kedua Hijriyah (624 M) atau
usai Perang Badar.
Dari beberapa riwayat disebutkan bahwa ada beberapa hal yang
dilakukan Rasulullah saw. untuk menyambut dan merayakan hari raya Idul Fitri.
1. Perbanyak Baca Takbir
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. mengumandangkan takbir
pada malam terakhir Ramadhan hingga pagi hari satu Syawal. Hal ini sesuai
dengan apa yang difirmankan Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 185:
: وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ
Artinya, “Dan sempurnakanlah bilangan Ramadhan, dan
bertakbirlah kalian kepada Allah”. (QS. Al-Baqarah: 185).
Ada dua jenis takbir Idul Fitri. Pertama, muqayyad (dibatasi),
yaitu takbir yang dilakukan setelah shalat, baik fardhu atau sunnah. Setiap
selesai shalat, dianjurkan untuk membaca takbir. Kedua, mursal (dibebaskan),
yaitu takbir yang tidak terbatas setelah shalat, bisa dilakukan di setiap
kondisi.
Takbir Idul Fitri bisa dikumandangkan di mana saja, di
rumah, jalan, masjid, pasar atau tempat lainnya. Kesunnahan takbir Idul fitri
dimulai sejak tenggelamnya matahari pada malam 1 Syawal sampai takbiratul
Ihramnya Imam shalat Id bagi yang berjamaah, atau takbiratul Ihramnya mushalli sendiri,
bagi yang shalat sendirian.
Pendapat lain menyatakan waktunya habis saat masuk waktu
shalat Id yang dianjurkan, yaitu ketika matahari naik kira-kira satu tombak (+
3,36 M), baik Imam sudah melaksanakan Takbiratul Ihram atau tidak. (Syekh Sa’id
Bin Muhammad Ba’ali Ba’isyun, Busyra al-Karim, hal. 426).
Salah satu contoh bacaan takbir yang utama adalah:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا
اللهُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ
لِلهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا لَا إلَهَ إلَّا اللهُ وَلَا
نَعْبُدُ إلَّا إيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا
إلَهَ إلَّا اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ
وَحْدَهُ لَا إلَهَ إلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
(Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 3, hal.
54).
2. Berhias dan Memakai pakaian terbaik
Idul fitri adalah waktunya berhias dan berpenampilan sebaik
mungkin untuk menampakan kebahagiaan di hari yang berkah itu. Berhias bisa
dilakukan dengan membersihkan badan, memotong kuku, memakai wewangian terbaik
dan pakaian terbaik. Lebih utama memakai pakaian putih, kecuali bila selain
putih ada yang lebih bagus, maka lebih utama mengenakan pakaian yang paling
bagus, semisal baju baru. Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa tradisi
membeli baju baru saat lebaran menemukan dasar yang kuat dalam teks agama,
dalam rangka menebarkan syiar kebahagiaan di hari raya Idul Fitri.
Kesunnahan berhias ini berlaku bagi siapapun, meski bagi
orang yang tidak turut hadir di pelaksnaan shalat Idul Fitri. Khusus bagi
perempuan, anjuran berhias tetap harus memperhatikan batas-batas syariat,
seperti tidak membuka aurat, tidak mempertontonkan penampilan yang memikat
laki-laki lain yang bukan mahramnya dan lain sebagainya. (Syekh Zakariyya
al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 281).
3. Makan sebelum shalat Idul Fitri
Salah satu hari yang diharamkan berpuasa adalah hari raya
Idul Fitri. Bahkan, dalam kitab-kitab fiqih disebutkan bahwa berniat tidak
puasa pada saat hari Idul Fitri itu pahalanya seperti orang yang sedang puasa
di hari-hari yang tidak dilarang.
Sebelum shalat Idul Fitri, Rasulullah saw. biasa memakan
kurma dengan jumlah yang ganjil; tiga, lima, atau tujuh. Dalam sebuah hadist
disebutkan bahwa: "Pada waktu Idul Fitri Rasulullah saw. tidak berangkat
ke tempat shalat sebelum memakan beberapa buah kurma dengan jumlah yang
ganjil.” (HR. Ahmad dan Bukhari)
4. Shalat Idul Fitri
Rasulullah menunaikan shalat Idul Fitri bersama dengan
keluarga dan sahabat-sahabatnya, baik laki-laki, perempuan, atau pun anak-anak.
Rasulullah memilih rute jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang dari
tempat dilangsungkannya shalat Idul Fitri.
Rasulullah juga mengakhirkan pelaksanaan shalat Idul Fitri,
biasanya pada saat matahari sudah setinggi tombak atau sekitar dua meter. Hal
ini dimaksudkan agar umat Islam memiliki waktu yang cukup untuk menunaikan
zakat fitrah.
5. Mendatangi tempat keramaian
Suatu ketika saat hari raya Idul Fitri, Rasulullah menemani
Aisyah mendatangi sebuah pertunjukan atraksi tombak dan tameng. Bahkan saking
asyiknya, sebagaimana hadist riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim, Aisyah sampai
menjengukkan (memunculkan) kepala di atas bahu Rasulullah sehingga dia bisa
menyaksikan permainan itu dari atas bahu Rasulullah dengan puas.
6. Mengunjungi rumah sahabat
Tradisi silaturahim saling mengunjungi saat hari raya Idul
Fitri sudah ada sejak zaman Rasulullah. Ketika Idul Fitri tiba, Rasulullah
mengunjungi rumah para sahabatnya. Begitu pun para sahabatnya. Pada kesempatan
ini, Rasulullah dan sahabatnya saling mendoakan kebaikan satu sama lain. Sama
seperti yang dilakukan umat Islam saat ini. Datang ke tempat sanak famili
dengan saling mendoakan.
7. Tahniah (memberi ucapan selamat)
Hari raya adalah hari yang penuh dengan kegembiraan. Karena
itu, dianjurkan untuk saling memberikan selamat atas kebahagiaan yang diraih
saat hari raya. Di antara dalil kesunnahannya adalah beberapa hadits yang
disampaikan al-Imam al-Baihaqi, beliau dalam kitab Sunannya menginventarisir
beberapa hadits dan ucapan para sahabat tentang tradisi ucapan selamat di hari
raya.
Meski tergolong lemah sanadnya, namun rangkaian beberapa
dalil tersebut dapat dibuat pijakan untuk persoalan ucapan hari raya yang
berkaitan dengan keutamaan amal ini. Argumen lainnya adalah dalil-dalil umum
mengenai anjuran bersyukur saat mendapat nikmat atau terhindari dari mara
bahaya, seperti disyariatkannya sujud syukur. Demikian pula riwayat al-Bukhari
dan Muslim tentang kisah taubatnya Ka’ab bin Malik setelah beliau absen dari
perang Tabuk, Talhah bin Ubaidillah memberinya ucapan selamat begitu mendengar
pertaubatnya diterima. Ucapan selamat itu dilakukan dihadapan Nabi dan beliau
tidak mengingkarinya. Tidak ada aturan baku mengenai redaksi ucapan selamat
ini. Salah satu contohnya “taqabbala allâhu minnâ wa minkum”, “kullu ‘âmin wa
antum bi khair”, “selamat hari raya Idul Fitri”, “minal aidin wa al-faizin”,
“mohon maaf lahir batin”, dan lain sebagainya.
Pada prinsipnya, setiap kata yang ditradisikan sebagai
ucapan selamat dalam momen hari raya, maka sudah bisa mendapatkan kesunnahan
tahniah ini. Bahkan, Syekh Ali Syibramalisi menegaskan tahniah juga bisa
diwujudkan dalam bentuk saling bersalam-salaman. Karena itu, sangat tidak tepat
klaim dari sebagian kalangan bahwa ucapan selamat hari raya yang berkembang di
Indonesia tidak memiliki dasar dalil agama. Berkaitan dengan ihwal tahniah ini,
Syekh Abdul Hamid al-Syarwani menegaskan:
ـ (خَاتِمَةٌ) قَالَ الْقَمُولِيُّ لَمْ أَرَ لِأَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِنَا
كَلَامًا فِي التَّهْنِئَةِ بِالْعِيدِ وَالْأَعْوَامِ وَالْأَشْهُرِ كَمَا يَفْعَلُهُ
النَّاسُ لَكِنْ نَقَلَ الْحَافِظُ الْمُنْذِرِيُّ عَنْ الْحَافِظِ الْمَقْدِسِيَّ
أَنَّهُ أَجَابَ عَنْ ذَلِكَ بِأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَالُوا مُخْتَلِفِينَ فِيهِ
وَاَلَّذِي أَرَاهُ مُبَاحٌ لَا سُنَّةَ فِيهِ وَلَا بِدْعَةَ
“Sebuah penutup. Al-Qamuli berkata, aku tidak melihat dari
para Ashab (ulama Syafi’iyah) berkomentar tentang ucapan selamat hari raya,
beberapa tahun dan bulan tertentu seperti yang dilakukan banyak orang. Tetapi
al-Hafizh al-Mundziri mengutip dari al-Hafizh al Maqdisi bahwa beliau menjawab
masalah tersebut bahwa orang-orang senantiasa berbeda pendapat di dalamnya.
Pendapatku, hal tersebut hukumnya mubah, tidak sunnah, tidak bid’ah.”
وَأَجَابَ الشِّهَابُ ابْنُ حَجَرٍ بَعْدَ اطِّلَاعِهِ عَلَى ذَلِكَ
بِأَنَّهَا مَشْرُوعَةٌ وَاحْتَجَّ لَهُ بِأَنَّ الْبَيْهَقِيَّ عَقَدَ لِذَلِكَ بَابًا
فَقَالَ بَابُ مَا رُوِيَ فِي قَوْلِ النَّاسِ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ فِي الْعِيدِ تَقَبَّلَ
اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ وَسَاقَ مَا ذَكَرَهُ مِنْ أَخْبَارٍ وَآثَارٍ ضَعِيفَةٍ
لَكِنَّ مَجْمُوعَهَا يُحْتَجُّ بِهِ فِي مِثْلِ ذَلِكَ
“Al-Syihab Ibnu Hajar setelah menelaah hal tersebut menjawab
bahwa tahniah disyariatkan. Beliau berargumen bahwa al-Baihaqi membuat bab
tersendiri tentang tahniah, beliau berkata; bab riwayat tentang ucapan manusia
satu kepada lainnya saat hari raya; semoga Allah menerima kami dan kalian;.
Ibnu Hajar menyebutkan statemen al-Baihaqi tentang hadits-hadits dan ucapan
para sahabat yang lemah (riwayatnya), akan tetapi rangkain dalil-dalil tersebut
bisa dibuat argumen dalam urusan sejenis tahniah ini”.
Demikian penjelasan mengenai hal-hal yang disunnahkan saat hari raya Idul Fitri. Semoga di hari yang fitri, kita kembali bersih dari segala dosa dan segala penyakit hati.
dikutip dari berbagai sumber