Rasanya, ada kala-kala orang di negeri ini terlalu cepat naik pitam, terlalu mudah menyimpan benci, dan terlalu gemar menunjukkan kuasa dengan cara-cara yang ekstrem.
Ini barangkali yang tercermin dalam kasus yang menimpa
Tempo. Belum lama ini, kantor media itu dikirimi kepala babi, yang kemudian
disusul beberapa hari setelahnya, enam bangkai tikus dengan kepala terpenggal.
Ada yang menyangka itu sekadar drama untuk mencari perhatian
di sela sandyakala media yang semakin suram.
Namun, ketika disadari lebih dalam, sepertinya ini bukan
saatnya untuk mengabaikan atau mencibir. Ini bukan soal Tempo semata, tapi ada
ancaman kebebasan pers yang serius dalam bentuk intimidasi fisik dan simbolik.
Kepala babi dan bangkai tikus adalah simbol penghinaan,
kekerasan, dan ancaman. Entitas yang baunya busuk, simbolnya gelap, sehingga
mencerminkan niat pengirimnya yang tidak kalah muram.
Jika tidak ditindak tegas, ini bisa jadi preseden buruk.
Media di Indonesia akan berpikir ulang untuk mengungkap fakta penting karena
risiko keselamatan. Demokrasi yang tegak pun bisa terancam.
Di sisi lain, bagi jurnalis sendiri, seperti halnya arus
sungai yang tidak bisa dibendung dengan batu, semangat jurnalisme yang sehat
tidak akan mati hanya karena kiriman teror.
Kutipan dari cendekiawan Muslim Emha Ainun Nadjib (Cak Nun)
pernah mengingatkan bahwa bangsa ini kadang keliru membedakan antara keras
kepala dan teguh pendirian.
Jurnalisme adalah teguh pendirian. Ia berdiri di antara riuh
rendah kekuasaan, kepentingan, dan kabut opini, sambil membawa terang, berita,
dan kebenaran.
Maka, bila ada yang mengira kepala babi bisa membungkam
media, itu artinya mereka belum mengenal sejarah.
Dulu, jurnalis pernah dibungkam, disensor, dilarang, tapi
berkali-kali ia tumbuh lagi. Seperti rerumputan yang diratakan cangkul, selalu
ada yang bangkit lebih hijau.
Mengapa mesti takut pada suara? Pada data, pada cerita? Jika
memang tidak ada yang salah, mengapa gelisah? Inilah titik yang perlu
direnungkan.
Karena yang ditakutkan bukan semata-mata kepala babi atau
tikus mati, melainkan semangat membungkam itu sendiri.
Kalau kebebasan pers terintimidasi, masyarakat akan
kehilangan cermin. Tidak tahu lagi mana luka yang perlu diobati, mana borok
yang harus dibersihkan.
Menjaga saksi
Meskipun demikian, tidak perlu membalas kegelapan dengan
kegelapan. Barangkali masyarakat sudah terlalu sering hidup dalam tradisi
saling curiga.
Saatnya bicara dengan kepala dingin, hati jernih, dan logika
sehat. Insiden seperti ini seharusnya menjadi kesempatan emas untuk membenahi
cara pandang terhadap jurnalis.
Mereka bukan lawan, bukan ancaman. Mereka saksi. Dan bangsa
yang sehat semestinya menjaga saksi-saksi sejarahnya.
Banyak negara pernah menghadapi momen getir yang serupa. Di
Malta, misalnya, jurnalis Daphne Caruana Galizia dibunuh karena mengungkap
skandal korupsi. Tapi tekanan publik dan internasional akhirnya membuat
pemerintah bergerak, bahkan bisa sampai menjatuhkan perdana menteri.
Di Filipina, jurnalis Maria Ressa tetap tegak meski dikepung
jeratan hukum karena kritik terhadap kekuasaan. Tapi dengan bekal dukungan
publik, jaringan internasional, dan strategi hukum yang jitu, mereka bertahan,
bahkan Maria Ressa diganjar Nobel Perdamaian.
Di Irlandia, pembunuhan Veronica Guerin, jurnalis yang
menginvestigasi mafia dan kartel narkoba di negara itu, menjadi titik balik
reformasi hukum, karena publik menolak diam ketika simbol keadilan ditembak
mati.
Dan jangan lupa di Rusia, ketika Anna Politkovskaya
dibungkam, tapi namanya menjadi abadi di benak orang-orang yang percaya bahwa
kata-kata harus tetap hidup, meski pelurunya mengintai.
Dari dalam negeri sendiri, kasus almarhum Udin di Yogyakarta
menjadi ingatan pahit bahwa ketika negara lambat bertindak, kebenaran bisa
terkubur selamanya.
Semua itu menjadi pengingat, yang membedakan sebuah bangsa
bukan ada tidaknya teror terhadap jurnalis, tapi bagaimana bangsa itu
meresponsnya. Apakah mendiamkan? Atau berdiri bersama keberanian?
Maka, sejatinya tidak perlu gagap mengatasi kasus yang
menimpa Tempo. Contohnya sudah banyak. Respons cepat, dukungan simbolik,
investigasi yang tegas, dan perlindungan yang nyata kepada jurnalis adalah cara
paling bermartabat.
Kalau Presiden bisa mengucap selamat untuk atlet dan aktor,
mengapa tidak untuk jurnalis yang bertaruh nyawa demi kebenaran? Cukup satu
kalimat yang menenangkan: “Kami bersama jurnalis yang bekerja dengan
integritas.” Kalimat semacam itu bisa menjadi selimut hangat di tengah malam
dingin.
Langkah Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo yang
memerintahkan Kabareskrim untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut dugaan
teror yang menimpa media Tempo, juga layak mendapatkan apresiasi tinggi.
Sebagai aparat ia tampil bukan hanya sebagai penegak hukum,
tetapi juga penjaga ekosistem kebebasan, untuk menjamin pengusutan siapa
pengirim paket-paket itu.
Sebab, semua tidak ingin ini berhenti di tingkat eksekutor,
melainkan jauh menelusuri hingga terungkap siapa yang menyuruh, yang membayar,
dan yang menyusun niat.
Jejak digital, kamera pengawas, dan seluruh teknologi yang
dibanggakan itu, saatnya dikerahkan untuk membela para pencari kebenaran.
Negeri ini bukan saatnya lagi memberi ruang bagi rasa takut untuk bertumbuh.
Apalagi mengingat pada dasarnya kebebasan pers di negeri ini sudah sangat terbuka dan dijamin UU. Bahkan bila dibanding negara tetangga, kebebasan pers di Indonesia adalah acuan. Jika pelaku itu benar mau meneror pers, maka ini bukan pilihan yang jitu.
Negara telah memberi ruang yang luas bagi pers untuk berekspresi. Jauh lebih
luas dibandingkan pada masa lalu.
Publik bergerak
Masyarakat saatnya mengambil bagian. Ini momentum untuk
bukan lagi hanya menjadi penonton. Media sosial bisa menjadi instrumen terbaik
untuk menyatakan sikap.
Menunjukkan bahwa publik tidak diam. Saatnya dukungan
dilayangkan, solidaritas dituliskan, narasi yang melawan ketakutan disebarkan.
Bahkan, bisa juga menjadi bahan obrolan di warung kopi,
forum RT, atau ruang kelas, supaya kebebasan pers tidak terkesan eksklusif
milik jurnalis, tapi bagian dari napas demokrasi yang harus dijaga bersama.
Sebab yang paling membahayakan bukanlah kepala babi atau
bangkai tikus itu, melainkan jika muncul rasa biasa saja, setelahnya.
Ketika serangan terhadap pers dianggap lumrah, ketika teror
menjadi semacam rutinitas, itulah awal kemunduran.
Maka, jangan sampai kehilangan rasa marah yang sehat, rasa
peduli yang jujur, dan rasa ingin melawan ketidakadilan. Jangan sampai kita
menjadi bangsa yang tidak lagi terganggu oleh bau busuk karena terlalu sering
mengirupnya.
Negara yang besar bukan yang punya gedung tertinggi atau
anggaran triliunan, tapi yang tahu caranya menghormati suara terkecil,
menghargai tulisan paling sunyi, dan melindungi keberanian yang tidak pernah
ditayangkan.
Media adalah bagian dari keberanian itu. Maka marilah bersama-sama menjaga agar suara mereka tetap lantang, langkah mereka tetap tegak, dan cahaya mereka tidak padam.
Sumber Artikel Antara, Oleh Hanni Sofia, Minggu, 23 Maret 2025 09:37 WIB, waktu baca 5 menit